Sejahtera Berkat Booming Desa Wisata di Dlingo, DIY
A
A
A
BANTUL - Sepuluh tahun yang lalu, wilayah Dlingo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai daerah pegunungan yang tandus. Setiap tahun selalu saja terjadi keekringan di wilayah ini. Warga di wilayah ini jugga cenderung malu mengaku kalau mereka berasal dari wilayah paling timur di Kabupaten Bantul ini.
Namun kondisi berbeda terjadi saat ini. Wilayah Dlingo kini menjadi daerah wisata favorit di Bantul. Ada sekitar 30 objek wisata baru yang dikelola masyarakat. Kondisi ini juga sedikit demi sedikit mampu merubah kehidupan ekonomi warganya.
Wandi, 45, warga Dusun Cempluk, Mangunan, Dlingo ini, Minggu (4/2/2018) terlihat ramah menyapa setiap pengunjung yang berada di puncak objek wisata Watu Goyang Mangunan. Meski bukan pemandu wisata profesional, Wandi dengan antusias mencoba menjelaskan kepada setiap pengunjung perihal potensi wisata yang ada di desanya.
“Itu batunya kalau didorong bisa goyang. Coba saja mas. Itu batu alami. Dulu di sini hutan lebat. Warga bergotong royong menjadikannya objek wisata,” ujarnya kepada rombongan wisatawan keluarga.
“Kalau malam, di sini lebih asyik lagi lho mas. Banyak yang menginap memakai tenda. Di Desa Mangunan, ada 11 objek wisata lho. Mulai dari area persawahan hingga hutan pinus. Kalau mau wisata rafting juga ada tapi di desa lain,” imbuhnya berpromosi.
Penampilan Wandi terlihat sederhana. Mengenakan kaos, celana kolor dan sepatu boots, dia lebih terlihat seperti petani dibanding pemandu. Wandi mengaku sehari-harinya berprofesi sebagai tukang serabutan. Mulai sebagai tukang sedot WC, tukang servis rumah dan lain sebagainya.
Namun dua tahun belakangan ini, Wandi juga mempunyai profesi lain. Dia bertugas sebagai penjaga objek wisata. Ada 31 anggota kelompok pengelola Watu Goyang ini. Mereka bertugas bergantian. Seminggu dua kali dengan durasi jaga dari pagi hingga pukul 12.00 WIB atau dari pukul 12.00—18.00 WIB.
Tugasnya bisa macam-macam. Kadang jaga parkir, bersih-bersih atau seperti yang dia lakukan kemarin jaga di puncak bukit sambil menjadi pemandu bagi pengunjung.
Wandi mengaku, booming wisata di daerahnya mampu meningkatkan ekonomi keluarganya. Selain ikut menjadi anggota pengelola Watu Goyang, istrinya juga berjualan makanan di objek wisata Kebun Buah Mangunan. Setiap harinya omset warung milik istri Wandi bisa mencapai Rp2,5 juta dan dua kali lipat jika hari libur.
“Ada empat orang yang dipekerjakan istri saya. Masing-masing digaji Rp70.000 setiap harinya. Kalau di Watu Goyang ini, kami belum gajian. Uang semua dimasukkan untuk kas dulu, untuk pengembangan. Tapi untuk makan kita tiap hari dimasakkan oleh ibu-ibu giliran,” tutur Wandi.
Cerita manis dampak wisata juga dirasakan Fahrudin. Sebelum beralih profesi menjadi pengelola hutan pinus, Fahrudin adalah petani penyadap pinus. Penghasilannya waktu itu hanya sekitar Rp500.000 setiap bulan.
“Hasilnya saat ini bisa tiga kali lipat per bulannya. Bahkan bisa lebih,” ujar Purwo Harsono, penggiat wisata di Desa Mangunan.
Menurut mantan caleg ini, wisata memberi dampak langsung, tidak langsung dan dampak ikutan bagi warga setempat. Dampak langsung dirasakan oleh para pengelola objek wisata. Sementara dampak tidak langsung dirasakan oleh warga penerima manfaat tetapi tidak langsung menjadi pengelola.
“Dampak ikutan juga dirasakan seperti pelaku travel, pekerja home industry yang produknya untuk pariwisata pengelola home stay dan lain sebagainya,” ujar Ipung, panggilan akrabnya.
Camat Dlingo Tri Tujiyana menyebut saat ini sejumlah desa di wilayah Dlingo juga mulai membuat rintisan desa wisata. Menurut dia, saat ini ada sekitar 30 objek wisata yang dikelola masyarakat.
Selain itu di sejumlah desa seperti Desa Jatimulyo, Terong dan Muntuk juga mulai menginisiasi objek wisata baru. Banyaknya tempat wisata baru ini juga mampu meningkatkan perekonomian warga.
“Banyak segmen ekonomi yang muncul yang men-suport wisata. Mulai rumah makan, kerajinan dan lain sebaginya. Contoh terbaru terobosan jelajah Sawah Bowongan di Sukorame Mangunan. Belum lama dibuka sudah ada 3.000 pengunjung dengan perolehan dana sekitar Rp50 juta. Tentu ini mmampu meningkatkan ekonomi warga,” kata dia.
Namun kondisi berbeda terjadi saat ini. Wilayah Dlingo kini menjadi daerah wisata favorit di Bantul. Ada sekitar 30 objek wisata baru yang dikelola masyarakat. Kondisi ini juga sedikit demi sedikit mampu merubah kehidupan ekonomi warganya.
Wandi, 45, warga Dusun Cempluk, Mangunan, Dlingo ini, Minggu (4/2/2018) terlihat ramah menyapa setiap pengunjung yang berada di puncak objek wisata Watu Goyang Mangunan. Meski bukan pemandu wisata profesional, Wandi dengan antusias mencoba menjelaskan kepada setiap pengunjung perihal potensi wisata yang ada di desanya.
“Itu batunya kalau didorong bisa goyang. Coba saja mas. Itu batu alami. Dulu di sini hutan lebat. Warga bergotong royong menjadikannya objek wisata,” ujarnya kepada rombongan wisatawan keluarga.
“Kalau malam, di sini lebih asyik lagi lho mas. Banyak yang menginap memakai tenda. Di Desa Mangunan, ada 11 objek wisata lho. Mulai dari area persawahan hingga hutan pinus. Kalau mau wisata rafting juga ada tapi di desa lain,” imbuhnya berpromosi.
Penampilan Wandi terlihat sederhana. Mengenakan kaos, celana kolor dan sepatu boots, dia lebih terlihat seperti petani dibanding pemandu. Wandi mengaku sehari-harinya berprofesi sebagai tukang serabutan. Mulai sebagai tukang sedot WC, tukang servis rumah dan lain sebagainya.
Namun dua tahun belakangan ini, Wandi juga mempunyai profesi lain. Dia bertugas sebagai penjaga objek wisata. Ada 31 anggota kelompok pengelola Watu Goyang ini. Mereka bertugas bergantian. Seminggu dua kali dengan durasi jaga dari pagi hingga pukul 12.00 WIB atau dari pukul 12.00—18.00 WIB.
Tugasnya bisa macam-macam. Kadang jaga parkir, bersih-bersih atau seperti yang dia lakukan kemarin jaga di puncak bukit sambil menjadi pemandu bagi pengunjung.
Wandi mengaku, booming wisata di daerahnya mampu meningkatkan ekonomi keluarganya. Selain ikut menjadi anggota pengelola Watu Goyang, istrinya juga berjualan makanan di objek wisata Kebun Buah Mangunan. Setiap harinya omset warung milik istri Wandi bisa mencapai Rp2,5 juta dan dua kali lipat jika hari libur.
“Ada empat orang yang dipekerjakan istri saya. Masing-masing digaji Rp70.000 setiap harinya. Kalau di Watu Goyang ini, kami belum gajian. Uang semua dimasukkan untuk kas dulu, untuk pengembangan. Tapi untuk makan kita tiap hari dimasakkan oleh ibu-ibu giliran,” tutur Wandi.
Cerita manis dampak wisata juga dirasakan Fahrudin. Sebelum beralih profesi menjadi pengelola hutan pinus, Fahrudin adalah petani penyadap pinus. Penghasilannya waktu itu hanya sekitar Rp500.000 setiap bulan.
“Hasilnya saat ini bisa tiga kali lipat per bulannya. Bahkan bisa lebih,” ujar Purwo Harsono, penggiat wisata di Desa Mangunan.
Menurut mantan caleg ini, wisata memberi dampak langsung, tidak langsung dan dampak ikutan bagi warga setempat. Dampak langsung dirasakan oleh para pengelola objek wisata. Sementara dampak tidak langsung dirasakan oleh warga penerima manfaat tetapi tidak langsung menjadi pengelola.
“Dampak ikutan juga dirasakan seperti pelaku travel, pekerja home industry yang produknya untuk pariwisata pengelola home stay dan lain sebagainya,” ujar Ipung, panggilan akrabnya.
Camat Dlingo Tri Tujiyana menyebut saat ini sejumlah desa di wilayah Dlingo juga mulai membuat rintisan desa wisata. Menurut dia, saat ini ada sekitar 30 objek wisata yang dikelola masyarakat.
Selain itu di sejumlah desa seperti Desa Jatimulyo, Terong dan Muntuk juga mulai menginisiasi objek wisata baru. Banyaknya tempat wisata baru ini juga mampu meningkatkan perekonomian warga.
“Banyak segmen ekonomi yang muncul yang men-suport wisata. Mulai rumah makan, kerajinan dan lain sebaginya. Contoh terbaru terobosan jelajah Sawah Bowongan di Sukorame Mangunan. Belum lama dibuka sudah ada 3.000 pengunjung dengan perolehan dana sekitar Rp50 juta. Tentu ini mmampu meningkatkan ekonomi warga,” kata dia.
(alv)